Senin, 10 Juni 2013

Wow !!! ini Info Terbaru Pembakaran KJRI di Jeddah

Gedung KJRI Yang Terbakar
Terjadi aksi bakar-bakaran di Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah, Arab Saudi. Akibatnya, satu orang TKI tewas dalam peristiwa ini. Namun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans)Muhaimin Iskandar membantah jika TKI yang tewas itu karena aksi bakar-bakaran tersebut. Menurutnya, orang tersebut tewas karena sakit.

"Itu karena sakit sebelumnya, dia ikut antre. Kemlu yang lebih tahu sih sebetulnya, karena semua informasi yang paling akurat dari Kemlu," jelas Muhaimin saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Jakarta, Senin (10/6).

Pria yang akrab disapa Cak Imin ini menjelaskan, peristiwa amuk massa terjadi karena membludaknya antrean yang mengurus berkas di KJRI Jeddah. Akibatnya, antrean panjang tak terhindarkan.

Dia pun membantah jika kejadian ini terjadi karena pemerintah tidak siap menangani TKI yang ada di Jeddah.

"Sudah siap, buktinya (selama ini) 50 ribu (TKI di Jeddah) sudah tertangani. Ya namanya meledak, tiba-tiba 12 ribu, biasanya (per-hari) 3 ribu. Kemarin meledak jadi 12 ribu," kilah dia.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi peristiwa serupa terulang kembali, Kemenakertrans bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk menambah loket pelayanan di KJRI Jeddah.

"Saya sudah minta sama Menlu nambah loket, nambah tempat pelayanan, nambah staf, nambah anggaran," tegas dia.
[bal]

Pengamanan di KJRI Jeddah diperketat 5 kali lipat

Pihak Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah sudah melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian setempat sebagai antisipasi keributan yang terjadi di depan kantor tersebut, pada Minggu (9/6) lalu. Tidak hanya personel kepolisian yang ditambah lima kali lipat untuk berjaga-jaga, sistem check in ke Kantor KJRI di Jeddah pun diperketat.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Tatang Razaq menuturkan bagi para TKI yang hendak mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) di Kantor KJRI kini tidak lagi bisa datang secara bergerombol.

"Kalau kemarin itu kan antrean sekitar 12 ribu orang di depan gerbang, kalau sekarang harus jauh dari gerbang," ucap Tatang saat dihubungi merdeka.com, Selasa (11/6).

Jadi sekarang, lanjut Tatang, sistemnya steril. "TKI yang mau masuk juga sekarang sedikit-sedikit," terang Tatang yang telah bertemu dengan Kepala Kepolisian setempat guna membahas peristiwa keributan tersebut.

Sebelumnya, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di Jeddah, Arab Saudi, mengamuk. Mereka membakar Kantor Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah yang terletak di Jalan Al Rehab Distrik, Minggu (9/6).

Mereka emosi lantaran telah antre sejak lama namun belum terlayani. Mayoritas TKI bermasalah ini sedang mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) untuk mendapatkan amnesti atau pemutihan. Surat itu dibutuhkan untuk membuat paspor atau izin tinggal.
[ian]

Keributan di KJRI Jeddah, 28 provokator diciduk polisi

8 Warga Negara Indonesia yang bermukim di Jeddah, Arab Saudi diamankan lantaran terlibat pembakaran yang terjadi di Kantor Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah yang terletak di Jalan Al Rehab Distrik, Minggu (9/6). Jumlah tersebut disinyalir bisa bertambah.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Tatang Razaq menuturkan puluhan pria yang seluruhnya laki-laki tersebut diduga merupakan kelompok yang menyulut api hingga terjadinya perbuatan anarkis itu.

"Ada sekitar 28 orang yang diamankan di kantor polisi dan itu ada kemungkinan bertambah. Dari kejadian kemarin memang ada sekelompok orang yang ada untuk provokasi," ucap Tatang di Jeddah saat dihubungi merdeka.com, Selasa (11/6).

Tatang melanjutkan, puluhan orang yang diamankan tersebut didapati pihak Kepolisian berdasarkan video rekaman yang ada. "Kejadian kemarin sangat diamati betul oleh pihak kepolisian. Melalui rekaman yang ada polisi bisa mengetahui mana saja yang terlibat," terangnya.

Puluhan WNI yang diduga ilegal tersebut ditangkap petugas di beberapa lokasi yang berbeda. "Bahkan, tadi ada beberapa yang ditangkap saat masuk ke KJRI karena kedapatan bawa pisau," tuturnya.

Menurut pemeriksaan sementara, lanjut Tatang, 28 orang tersebut merupakan kelompok yang mencari keuntungan terhadap TKI yang legal. "Ijin tinggal mereka belum jelas. Bahkan, ada yang tidak memiliki dokumen lengkap. Selain itu, polisi mendapati dari puluhan ribu orang yang datang ke sini (KJRI) ada yang belum pada waktunya. Harusnya tanggal 25 mereka datang tapi kemarin ada di lokasi," paparnya.

Sebelumnya, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di Jeddah, Arab Saudi, mengamuk. Mereka membakar Kantor Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah yang terletak di Jalan Al Rehab Distrik, Minggu (9/6).

Mereka emosi lantaran telah antre sejak lama namun belum terlayani. Mayoritas TKI bermasalah ini sedang mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) untuk mendapatkan amnesti atau pemutihan. Surat itu dibutuhkan untuk membuat paspor atau izin tinggal.
[ian]

Tiap hari, KJRI di Jeddah hanya mampu proses 5 ribu dokumen

Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah hanya mampu melayani pengajuan 5 ribu dokumen setiap harinya. Kemarin, sempat terjadi lonjakan permintaan sejak pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan soal pemutihan bagi warga asing.

"Dua hari lalu sebenarnya ada sekitar 12 ribu warga negara atau TKI kita yang mengurus paspor atau surat pelaksana paspor mereka di KJRI, KJRI sejauh ini bisa memfasilitasi sekitar 5.000 dokumen tersebut per harinya," kata Faizasyah di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/6).

Pria yang akrab disapa Faiz ini menambahkan, KJRI Jeddah sebenarnya masih mampu melayani permintaan 43 ribu dokumen yang diajukan para TKI di negara tersebut. Sebab, sejak pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan itu, pemerintah telah mengirim tim untuk memfasilitasi lonjakan pengurusan paspor.

"Pemerintah RI sudah siapkan satu tim entertain yang melibatkan berbagai unsur untuk memfasilitasi sebaik mungkin TKI kita yang ada di Arab Saudi. Kami ketahui bahwa sejak pengumuman tersebut, hingga batas waktu akhir pemrosesannya 3 Juli, sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan pemerintah termasuk menerbitkan 48 ribu surat keterangan tersebut," tandasnya.

Akan tetapi, ketidaksabaran para pengantre yang kemudian membakar area depan KJRI patut disayangkan. Sebab, tindakan tersebut dapat merugikan para TKI yang mencari nafkah.

"Apabila ada tindakan-tindakan yang melanggar hukum, tentunya kredibilitas para TKI itu sangat dirugikan. Karena baik majikan maupun potensial majikan akan berpikir ulang untuk merekrut mereka di sana," tegasnya.
[has]

Ricuh TKI di Jeddah, ke mana Menlu?Kericuhan yang berujung pada pembakaran kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi, hingga menewaskan satu orang Tenaga Kerja Wanita (TKW) dinilai sebagai potret buruk kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan. Hal ini diperparah dengan belum adanya sikap tegas dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa d

alam menghadapi persoalan ini.


Bahkan, sehari setelah kejadian yang seharusnya Menlu dapat segera mengambil sikap, Menlu justru terkesan tidak peka. Hal ini ditunjukkan dengan fakta Menlu malah berada di luar negeri, tepatnya di Australia.

Menanggapi hal itu, Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo menilai pemerintah tidak responsif dalam memberikan pelayanan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang membutuhkan amnesty/pemutihan dari Pemerintah Arab Saudi. Menurut dia, Menlu masih tetap menilai kebijakan amnesty merupakan kebijakan biasa sehingga merasa cukup ditangani layaknya pengurusan dokumen lazimnya.

"Pemerintah Indonesia melalui Menlu menunjukkan adanya kelambanan dan ketidaksiapan untuk mengantisipasi puluhan ribu buruh migran Indonesia yang memproses pemutihan dokumen di perwakilan Indonesia di Arab Saudi," ujar Wahyu kepada merdeka.com, Senin (10/6).

Selain itu, Wahyu pun menuding Menlu tidak bersikap akomodatif terhadap kepentingan warganya sendiri dengan membiarkan langkah KJRI yang justru mengkriminalisasikan para TKI yang melakukan pembakaran dan bukan malah melakukan perbaikan dalam proses pelayanan yang diberikan. Padahal, menurut dia, ricuh yang terjadi disebabkan akumulasi kemarahan para TKI yang tidak mendapat pelayanan memadai dari perwakilan pemerintah.

"Respons Pemerintah Pusat justru semakin memperkeruh suasana dengan mengkriminalkan teman-teman TKI yang ada di sana," kata Wahyu.

Di samping itu, Wahyu menerangkan, Menlu cenderung abai terhadap persoalan buruknya pelayanan ini. Bahkan, menurut dia, Menlu pun terkesan tidak mau bertanggung jawab dan lebih memilih menyerahkan penanganan kondisi yang terjadi dilakukan oleh pihak KJRI.

"Pemerintah Pusat cuci tangan dengan mengkambinghitamkan kriminalisasi ekspresi kemarahan TKI dan melokalisir tanggung jawab hanya pada KJRI. Padahal, seharusnya Pemerintah Pusat berperan aktif karena yang dihadapi adalah 60.000 TKI overstay yang tidak bisa dilayani KJRI bahkan KBRI semata," pungkas dia.
[ian]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar