GARAM, siapa yang tidak kenal dengan benda ini. Setiap masakan bahan dasar paling utama adalah garam. Tanpa garam, mungkin masakan tidak berasa, hambar dan tak enak.
Bicara soal garam, tentu pikiran kita tertuju laut karena asalnya memang dari sana. Jasa para petani garam begitu besar. Tapi perlu diketahui, ternyata kehidupan petani garam tak seenak masakan yang dibubuhi garam.
Sebab, harga garam terbilang sangat murah, bahkan tersaingi dengan garam impor.
Bahkan petani garam terpuruk, harga garam idealnya lima puluh ribu per kwintal. Harga garam saat ini ambruk, dinilai Busri (45) pengepul garam asal Desa Kedungmutih adalah permainan pedagang kelas tinggi.
Melihat harga garam impor yang masih di level Rp100 ribu, mestinya harga garam krosok lokal laku separuhnya. Namun saat ini harga garam ditingkat petani paling mahal Rp25 ribu perkwintal, itupun kualitas super.
Untuk garam krosok kualitas umum hanya dihargai Rp15 ribu-Rp20 ribu setiap kwintalnya.
“Meski saya pengepul namun saya juga menggarap tambak garam sehingga melihat harga garam yang terus merosot saya kasihan pada petani garam. Mestinya garam krosok lokal harganya minimal Rp50 ribu setiap kwintalnya karena melihat harga garam impor yang masih tinggi sekitar Rp100 ribu perkwintal”, kata Busri.
Menurut Busri, petani garam di Kabupaten Demak ini rata-rata mempunyai simpanan garam, sehingga stok garam ditingkat petani masih banyak. Harapan mereka harga bisa beranjak naik seperti musim garam tahun yang lalu. Namun meski telah ditunggu 4-6 bulan harga garam masih bertahan dan cenderung turun karena permintaan yang tidak begitu banyak.
Padahal musim panen tahun lalu harga garam pernah mencapai Rp45ribu-Rp55 ribu perkwintalnya. Sehingga harga itu terus turun hingga usai panen raya harga bertahan Rp 30-35 ribu setiap kwintalnya. Ketika itulah para petani mulai memasukkan garamnya ke dalam gudang, dengan harapan usai panen raya harga bisa naik lagi seperti awal panen.
"Tetapi harapan mereka saat ini kandas sudah meski musim garam akan dimulai lagi harga garam tidak naik malah justru melorot terus. Bagi yang membutuhkan uang dengan cepat mereka terpaksa melego garamnya dengan harga murah. Sebagian yang mampu bertahan karena mempunyai uang untuk biaya hidup mereka tahan garam", tambah Busri.
Untuk mengatasinya Busri yang telah lebih 15 tahun berkecimpung dalam bisnis garam krosok ini mengatakan, pemerintah harus turun tangan mengatur tata niaga garam seperti halnya harga gabah atau beras.
Harga Patokan
Mestinya pemerintah membuat harga patokan khusus untuk garam yang dihasilkan oleh para petani untuk kualitas A harga sekian, Kualitas B sekian dan Kualitas C sekian. "Agar nasib petani garam tidak kian terpuruk semestinya pemerintah harus mengatur tata niaga garam ini. Jika tidak kehidupan petani garam akan kembali kelam seperti dulu", tambah Busri.
Selain petani garam Demak seperti Busri, nasib sama juga dialami para petani di Desa Kanci.
Misalnya, terdapat 3 kelompok petani garam. Satu diantaranya petani garam yang menggarap tambak miliknya sendiri. Petani garam yang lain berstatus penyewa lahan dengan tarif sewa sebesar Rp500 ribu per tahun.
Petani garam yang berikutnya, lebih tragis lagi karena ia menggarap tambak milik orang lain dengan pembagian hasil dibagi dua. Seperti Gozali, masih dalam kelompok petani penggarap sangat bergantung pada hasil setelah dibagi sama besar dengan pemilik tambak. Dalam mengelola lahan pertanian garam itu, umumnya mereka masih sangat tergantung pula pada cuaca.
Jika hujan, dapat dipastikan air laut yang mereka olah tidak akan menghasilkan garam. Hanya waktu cuaca panas, kegerahan dan kegembiraan baru berbaur dalam penampilan mereka. Sementara untuk menunggu proses air laut menjadi garam setidaknya petani membutuhkan waktu sekitar lama 5 hari lamanya.
Dukungan
Sekelumit kisah petani garam ini ingin mendedahkan betapa pahit dan getirnya kehidupan petani Indonesia, manakala tidak memperoleh perhatian perlindungan maupun dukungan dalam melakukan pekerjaanya di ladang garam maupun di kebun untuk petani yang bercocok tanam.
Gambaran petani garam di Indonesia yang mengolah sekitar satu hektar lahan, jika bernasib baik akan menghasilkan garam sekitar satu ton. Namun harganya yang relatif murah, seperti pada suatu masa harga garam perkilo hanya Rp100, maka dalam bentuk usaha bagi hasil petani yang bersangkutan hanya akan memperoleh sebesar Rp50.000, karena yang separo dari penghasilan keseluruhan itu akan diberikan kepada pemilik lahan.
Penghasilan sebesar itu sebenarnya sudah terbilang bagus, karena ada saatnya harga garam anjlok, misalnya bila panen berlangsung pada bulan November.
Kondisi serupa ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Harga garam tak pernah stabil, penyebabnya siapa lagi, kalau bukan ulah tengkulak yang masih bisa mematok harga seenaknya.
Hambatan serupa ini yang menjadi salah satu kegalauan petani garam, sama halnya gelauan petani kelapa sawit yang sering mengiba-iba meskipun harus membeli pupuk dari tengkulak dengan harga yang sudah melambung dinaikkan.
Di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dicatat oleh pengamat setempat setidaknya ada sekitar 200 petani garam. Mereka semua menggarap lahan sekitar 390 hektar.
Artinya, rata-rata petani bisalah disebut menggarap sekitar dua hektar lahan ladang garam yang ada.
Meski mereka cukup mengandalkan air laut sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jelas dapat dibayangkan penghasilan mereka yang tidak seberapa itu, namun tetap saja ada keinginan untuk mempertahankan usaha serupa.
Ketangguhan mempertahankan pilihan bentuk usaha sebagai petani garam, bisa saja lantaran pekerjaan lain tidak memberi peluang bagi mereka untuk sedikit mengubah bentuk usaha sebagai alternatif guna memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga yang semakin meninggi.
Sementara penghasilan sebagai petani garam jelas tidak bisa diandalkan. Jangankan untuk menghantar anak-anak mereka mengendus pendidikan sampai perguruan tinggi, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja kepalang sulitnya.
Uluran tangan tulus pemerintah memberi perhatian, perlindungan serta bantuan sepatutnya sangat diharapkan. Lantaran tumpuan mereka sebagai rakyat yang telah memberikan amanah untuk menjalankan pemerintahan dengan segenap fungsi dan peranan yang sepatutnya dilaksanakan, sudah sepenuhnya menjadi andalan dan tumpuan.
Beberapa permasalahan di bidang pertanian, terutama mengenai petani garam di Indonesia. Keluhan petani garam di Madura misalnya mengungkapkan juga masalah harga yang rendah dan acap menjadi permainan para tengkulak, termasuk oleh pihak perusahaan garam yang menjadi penampung hasil panen petani garam.
Fluktuasi harga garam ketika panen seperti menjadi mainan, apalagi ketika hasil panen petani garam melimpah. Tahun 2008 misalnya, Departemen Perdagangan sudah menetapkan harga beli garam dari petani Rp325 per kilogram untuk kualitas 1, dan Rp250 per kilogram untuk kwalitas 2.
Namun saat panen raya tiba, harga garam kualitas 1 cuma dihargai Rp250 per kilogram, untuk garam kualitas 2 dihargai Rp125 per kilogram. (int/berbagai sumber)
Jika anda mempunyai usaha distro bisa kerjasama dengan :
Toko ”Maestro: ”
Kios Pasar Kliwon Kudus
Alamat Rumah : Purwosari Wijilan No: 363
RT: 01 RW: 04
Kudus
HP : 085641332448
Tidak ada komentar:
Posting Komentar