Demak - Salah satu tradisi warga nahdliyin yang masih
diuri-uri kelestariannya sampai sekarang adalah
Tahlilan. Bacaan tahlil selain di baca pada cara seremonial seperti
slametan supitan, pernikahan dan pengajian. Juga dibaca dalam rangka untuk
mendo’akan orang yang telah meninggal dunia.
Bacaan tahlil ini dibaca saat jenazah masih di rumah
, dishalatkan di masjid sampai dipemakaman usai di kubur. Selain itu masih ada
lagi bacaan tahlil di mulai malam pertama sampai malam ke tujuh. Hadir dalam
pembacaan itu sanak saudara, tetangga dan juga karib kerabat.
Namun untuk beberapa daerah ada yang sampai malam ke
tiga saja. Selanjutnya malam keempat sampai malam keenam kosong. Namun malam ke
tujuh acara tahlilan itu dilangsungkan kembali.
“ Kalau di Kudus yang saya tahu malam pertama sampai
malam ke tiga saja. Selanjutnya malam ketujuh diaadakan lagi yang diundang
adalah orang-orang yang mendo’akan di malam ketiga.” Kata Hamzawi Anwar warga
asli desa Kedungmutih Demak namun kini
sudah pindah ke Kudus pada demakpos.
Hamzawi mengatakan selain malam pertama sampai malam
ke tujuh . Selan jutnya pembacaan tahlil juga dilakukan lagi pada empat puluh
hari , seratus hari , satu tahun dan sampai dengan seribu hari. Tradisi
selamatan itu lazim disebut matangpuluh dina, nyatus, mendhak siji,
mendhak loro dan nyewu.
Menurut Hamzawi tradisi tahlilan itu sudah ada
ketika dia masih kecil. Dulu ketika acara tahlil itu dilaksanakan setiap malam
ada semacam makanan kecil dan minuman. Duduknya masih diatas gelaran berupa , klasa,
dabag dan gedheg. Pada malam ketiga dan
malam ke tujuh ada berkat untuk yang hadir.
Meskipun tergerus oleh kemajuan jaman tradisi
tahlilan ini masih tetap ada. Namun ada beberapa hal yang dihilangkan.
Diantaranya kini tidak ada lagi sugatan makanan kecil atau jadah di setiap
malamnya. Selain itu tempat duduk sudah bergeser tidak ada lagi klasa namun
digantikan oleh kursi .
“ Nah untuk berkatan dulu dua kali malam ketiga dan
malam ke tujuh . Tetapi saat ini hanya satu kali di malam ke tujuh saja.
Bentuknya juga beda dulu kebanyakan berupa nasi . Kini bahan mentah seperti
beras, Sarimi atau gula pasir “, kata Hamzawi.
Menurut Mbah H. Muslikan (74) tokoh masyarakat desa Kedungmutih tradisi
membaca tahlil di semua desa di kabupaten Demak dan sekitarnya masih ada sampai
sekarang. Namun pelaksanaannya yang berbeda. Misalnya waktu , tempat dan juga hidangan untuk yang hadir. Bahkan ada
beberapa desa yang telah menghapus pemberian berkat.
“ Masalah berkat itu tergantung dari kesepakatan
bisa dihilangkan atau masih dilestarikan. Yang penting kita berniat untuk
mendoakan saudara, keluarga atau teman yang meninggal dengan bacaan tahlil itu
yang harus kita lestarikan”, kata Mbah H. Muslikan. (Muin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar