ADA fenomena yang menyebut bahwa masyarakat (pemilih-pen) yang tidak hadir pada pemilihan umum disebutGolongan Putih atau Golput. Padahal pemilih yang hadir dan menggunakan hak pilih pun belum tentu pilihan suaranya dinyatakan sah, yaitu mereka yang salah dalam menandai surat suaranya, coblosan mereka yang berada di luar kotak pilihan, coblosan mereka yang lebih dari satu pilihan,. Bisakah mereka itu dikategorikan sebagai golongan putih? Bukankah pilihan mereka tidak sah? Bukankah kehadiran mereka ke TPS percuma alias sia-sia? Karena salah coblos tersebut oleh penyelenggara dinyatakan tidak sah dan dimasukkan pada kolom suara tidak sah?
Meskipun pilihannya salah dan dikategorikan sebagai suara tidak sah, tetapi mereka tidak dapat disebut golput. Karena kesalahan mereka tersebut bukan dilakukan dengan sengaja merusak suara pilihan, tetapi semata-mata akibat kecerobohan atau ketidaktahuan pemilih bagaimana cara menandai suara pilihan secara benar.
Tentang syariat, khianati demokrasi
Ajakan golput itu sesungguhnya bertentangan dengan ajaran dan syariat Islam. Karena mengajak orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya, dan atau mengajak orang lain untuk tidak mencoblos salah satu pilihan yang ditawarkan, adalah suatu ajakan yang menyesatkan, ajakan yang tidak bertanggungjawab dan orang yang bertindak golput tersebut berarti mengkhianati demokrasi.
Walaupun golput tidak mempengaruhi legitimasi pemilu, tetapi keberadaannya bisa menciptakan citra rendahnya legitimasi pemerintah dan mendorong munculnya masyarakat yang antipati terhadap perkembangan politik yang dibangun dan mengancam nilai-nilai ideal demokrasi negara.
Golput harus dikelola sebagai sistem pendidikan kritis rakyat dan bukan lagi untuk mengabdi pada kepentingan elit politik. Pendidikan kritis rakyat akan mengajarkan kepada warga negara, membela kepentingan dan hak warga negara. Karena itu, manakala sudah terpilih, kontrol atas mandat harus diambil oleh semua warga negara dengan nalar lintas partai dan lintas pilihan
Mengapa Golput?
Masyarakat yang digolongkan sebagai golput ini masih menganggap pemilu tidak demokratis atau bohong-bohongan; menghambur-hamburkan anggaran Negara, merasa kecewa terhadap pemimpin yang tidak amanah; bingung melihat lingkungan pemerintahan, carut marutnya ekonomi bangsa dan kondisi perpolitikan yang tidak focus pada kesejahteraan rakyat, serta muak ulah pelaku politik dan politikus yang hanya mementingkan diri dan keluarganya.
Mencegah Golput
Untuk menghindari dan mencegah agar tidak terjadi golput, maka pemilu harus berlangsung demokratis dan dilaksanakan (oleh penyelenggara, peserta dan pemilih pemilu) sesuai peraturan perundangan; yang dapat memilih pemimpin yang amanah; berkepastian yang tidak membingungkan dan perilaku elit politik.tidak memuakkan rakyat.
Meniadakan golput pada setiap penyelenggaraan pemilu, adalah suatu hal yang mustahil, perbuatan yang tidak mudah bahkan sangat sulit diwujudkan, sia-sia bak menegakkan benang basah.
Karena, untuk mencapai suatu tatanan dan kemauan yang ideal untuk semua orang (yang dapat memuaskan seluruh warga dan segenap komponen yang ada dalam satu negara-pen), selalu akan kandas di tengah jalan lantaran berbagai faktor yang datang dari dalam maupun luar diri orang.
Yang dapat dilakukan untuk membuat tatanan negara yang demokratis, hanyalah dengan upaya meminimalisasikan jumlah golput.
Antara lain dengan; memperbaiki sistem pembentukan penyelenggara dan pengawas pemilu yang mandiri, akuntabel, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggaraan, kepentingan umum, keterbukaan, proporsional, profesional, efisien, dan efektif.
Pemilu adalah urusan dunia, dan harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Luber Jurdil
Asas pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia dan jujur serta adil. Sedangkan prinsip pemilu adalah kebebasan, maka tidak ada ‘paksaan politik’ atau ‘wajib’ memilih partai atau pasangan calon tertentu (seperti pada era orde baru-pen).
Pemilu harus mampu menyelesaikan persoalan bangsa dan memberikan harapan baru, lebih diorientasikan kepada kepentingan dan partisipasi aktif masyarakat tanpa terkecuali, lebih terbuka dan mampu merealisasikan program (visi dan misi) secara kongkret, dan bukan sebatas retorika penguasa tanpa ada fakta.
Regulasi peraturan dan perundangan harus dibuat aspiratif dan akomodatif, dengan cara penandaan pilihan yang mudah dilakukan oleh siapa saja dan tidak membingungkan calon pemilih. Terbitnya peraturan-peraturan teknis pemilu harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara sehingga informasi kepemiluan dapat tersebar sampai di tingkat paling bawah.
Hal-hal yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam penyelenggaraan pemilu adalah, adanya tawaran pilihan (pemimpin/parpol) yang amanah (dapat dipercaya), yang tidak tercela (yaitu tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya), bertanggungjawab tentang apa yang menjadi kepemimpinannya, mencakup bertanggung jawab terhadap Allah SWT, diri sendiri, dan kepada yang dipimpin, serta menjaga kejujuran, mempunyai profesionalitas dan kemampuan dalam mengemban tugas dan fungsinya. (Machmud Suwandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar