Rabu, 25 Desember 2013

Ketika Warna Kulit Menentukan Kemerdekaan



Judul Film    : 12 Years A Slave
Tahun            : 2013
Genre            : drama-histori
Durasi           : 134 menit
Sutradara      : Steve McQueen
Produser       : Brad PittDede Gardner, Jeremy Kleiner, Bill Pohlad, Steve McQueen, Arnon Milchan Anthony Katagas
Pemain         :  Chiwetel Ejiofor (Solomon Northup), Michael Fassbender (Edwin Epps), Lupita Nyong’o (Patsey), Sarah Paulson (Mary Epps), Benedict Cumberbatch (William Ford) Brad Pitt (Samuel Bass), Paul Dano (John Tibeats)
Tahun           : 2013

Semua menjadi benar ketika hukum membenarkan
Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara penegak hak asasi manusia, memiliki sejarah kemanusiaan yang kelam. Lewat filmnya yang diadaptasi dari kisah nyata, sutradara Steve McQueen mencoba menghidupkan kembali suasana di Amerika Serikat tahun 1841. Ketika perbudakan dilegalkan dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 1776.
Solomon Northup, negro merdeka yang hidup bersama istri dan kedua anaknya di Saratoga Spring, New York, adalah seorang tukang kayu dan pemain biola yang handal. Suatu hari dia ditawari pekerjaan oleh dua orang orang tak dikenal sebagai pemain biola pada sirkus dengan gaji yang menggiurkan. Malam setelah minum-minum dengan dua orang tersebut, Northup terbangun di sebuah ruangan dengan tangan dan kaki dirantai. Ia terjebak dalam perbudakan  dan dijual kepada William Ford pemilik perkebunan di New Orleans. Northup dipaksa mengaku sebagai “Platt”, nama budak buronan dari Georgia.
Sebagai budak, Northup membantu Ford merancang jalur air untuk mengangkut kayu secara  cepat dan efisien. Kepandaiannya membuat Ford terkesan dan menghadiahkan sebuah biola kepadanya. Kedekatan Northup dan majikannya membuat John Tibeats, mandor tukang kayu, sangat membencinya. Konflik antara keduanya memuncak ketika Northup melawan saat Tibeats hendak menyiksanya. Sang majikan terpaksa menjual Northup ke Edwin Epps, pemilik perkebunan kapas demi melindunginya dari Tibeats. Sebelum dirinya dijual, Northup mengaku pada Ford bahwa dirinya adalah negro merdeka tetapi Ford tidak memercayainya.
Tugas pertama Northup adalah memanen kapas. Setiap budak diharuskan memanen paling sedikit 200 pound (±90.72 kg) setiap hari. Tetapi, Patsey (budak wanita muda) mampu memanen 500 pound (±226 kg) setiap harinya. Patsey mendapatkan perhatian khusus dari Epps sehingga Istri Epp sangat cemburu padanya. Panen pertama diliputi dengan wabah ulat kapas. Epps percaya wabah tersebut dikirim Tuhan melalui budak barunya. Kemudian ia menyewakan budak-budaknya ke perkebunan kawannya selama satu musim. Disana, Northup diberi sejumlah uang oleh pemilik perkebunan sebagai hadiah karena telah bermain biola pada pesta pernikahan temannya.
Ketika kembali ke perkebunan Epps, Northup menggunakan uangnya untuk membayar mantan mandornya agar mengirimkan surat ke temannya di New York untuk membebaskannya. Mantan mandor Northup setuju dan mengambil uangnya, tetapi melaporkannya pada Epps. Ia beruntung dapat meyakinkan Epps bahwa cerita itu palsu, tetapi Epps masih tetap curiga. Selanjutnya, Northup mulai bekerja di pembangunan paviliun dengan buruh kulit putih asal Kanada bernama Bass. Northup menceritakan penculikan dirinya pada Bass. Bass percaya dan mengambil resiko membantu Northup mengirim surat ke temannya.
Ketika sedang bekerja, Northup dipanggil oleh sheriff setempat bersama seorang pria yang kemudian menanyakan tentang masa lalu Northup. Northup mengenali pria yang bersama sheriff  adalah Parker, penjaga toko dari Saratoga. Parker datang untuk membebaskannya setelah 12 tahun menjadi budak. Northup di bebaskan dan kembali ke keluarganya. Pertemuan mengharukan terjadi ketika anak perempuannya yang telah menikah menggendong seorang bayi yang merupakan cucunya.
Melalui sudut pandang seorang merdeka yang diperbudakkan, film ini cukup jelas menceritakan bagaimana sosok budak pada saat itu diperlakukan. Mulai dari banyaknya kekerasan harus mereka terima, berpisah dari keluarganya dan kehilangan semua hak yang seharusnya mereka miliki sebagai manusia. Budak hanya dianggap sebagai alat pekerja, sehingga hampir tidak ada dari mereka yang bisa membaca dan menulis. Bahkan sang majikan dengan radikal menyangkutpautkan perbudakan dengan alkitab. Terlihat dari dialog “And that servant which knew his Lord’s will and prepared not himself, neither did according to his will, shall be beaten with many stripes.  That nigger that don’t take care, that don’t obey his lord – that’s his master, shall be beaten with many stripes.  Now, “many” signifies a great many.  Forty, a hundred, a hundred and fifty lashes,  That’s Scripter (in holy book)!”. Dimana sang majikan menyalahartikan Lord (tuhan) sebagai Master (majikan).
Film yang memenangkan Overall Audience Favorite dalam Mill Valley Film Festival 2013 Oktober lalu, memiliki banyak adegan yang menyentuh rasa kemanusiaan terkait perlakuan terhadap budak. Budak adalah manusia yang tidak merdeka. Namun, menjadi benarkah untuk mengeksploitasi mereka sedemikian rupa, padahal mereka juga manusia. Hal ini, tentunya akan kembali pada aturan yang berlaku pada masa itu bahwa perbudakan memang dilegalkan.
Diakhir bagian, diceritakan sedikit epilog tentang perjuangan Northup setelah dia kembali ke New York dalam melawan perbudakan. Hal ini menjadi nilai tambah, karena apa yang yang menjadi akhir dari film bukan berarti akhir dari cerita Northup. Sayangnya, dalam film ini penggambaran waktu 12 tahun kurang terlihat, mungkin dikarenakan kurang detailnya waktu pada film. Namun, terlepas dari kekurangannya, penggambaran keadaan pada masa perbudakan dengan sangat baik. Film ini penuh dengan adegan penyiksaan yang terlihat nyata sebagaimana dalam film The Passion of Jesus Christ. Terdapat pula adegan sang majikan yang melecehkan budak secara seksual. Oleh karena itu, film ini  tidak disarankan untuk anak dibawah umur. [Nailil Husna, Isnaini Ahmadi]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar