DEMAK - Ajaran Islam di Indonesia ini adalah Islam yang
otentik sesuai ajaran yang disampaikan Muhammad Rasulullah saw, yaitu agama
yang mengajarkan rahmatan lil ‘alamin, agama yang membawa kesejahteraan
terhadap masyarakatnya.
Demikian dikemukakan Rois Am Dr KH Mustofa Bisri (Gus
Mus) sebagai keynote speaker dalam sarasehan Mahrajan (Festival)
Wali-Wali Jawi Tahun 2014 “Menapak Jejak Auliya’ Meneladani Kearifan Mengajak”
di pendopo Kabupaten Demak Jawa Tengah, Sabtu (22/2) pagi tadi.
Nabi Muhammad saw tidak
mengajarkan Islam dengan model busana Arab (jubah), penampilan (berjenggot) dan
perawakan. Memang Nabi Muhammad memakai celana cingkrang, berjubah dan
berjenggot seperti yang dipakai pamannya Abu Jahal, Abu Lahab dan orang Arab
lainnya.
Tetapi itu bukan ciri busana muslim, melainkan
busana (lokal) Arab Saudi. Dan itu pula yang dilakukan oleh para wali songo
dalam melakukan dakwah. Mereka tidak merubah kultur dan budaya lokal masyarakat
tetapi mengisi kultur dan budaya lokal tersebut dengan ajaran Islam.
Menurut Gus Mus, demikian KH Mustofa Bisri sering dipanggil,
dakwah (mengajak) Islamiyah, tidak sama dengan amar ma’ruf nahi munkar (memerintah
melakukan kebaikan meninggalkan kejahatan). Dakwah, dilakukan oleh para kiai
dan walisongo dengan mencontoh metode yang diterapkan Rasulullah Nabi Muhammad
saw, yaitu dengan cara yang bijak dan santun. Kekuasaan kiai hanya sebatas
mengajak, dan manakala orang yang diajak tidak mau melaksanakannya sang kiai
tidak merasa tersinggung apalagi marah dan ngamuk.
Sedangkan amar ma’ruf nahi munkar, tugas ini sering dilakukan oleh
ustad atau orang yang mengaku pinter agama, yang manakala perintahnya tidak
dilaksanakan, sang ustad merasa tersinggung berat, merasa dilecehkan, dan
marah-marah. Bahkan tidak jarang sang ustad memberi sanksi atau hukuman kepada
mereka yang tidak melaksanakan perintahnya tersebut.
“Mengajak orang awam koq disuruh membaca dan menafsiri Al-Qur’an
dan Hadis sendiri. Belum sampai dapat membaca dan menafsiri, mereka sudah
sakit-sakitan dan ….”, seloroh kiai yang terkenal dengan panggilan Gus Mus.
Menurut kiai asal Rembang yang juga budayawan ini, mempelajari
Al-Qur’an dan Hadis adalah tugas ulama, dan orang awam cukup diberikan hasil
kajiannya saja, yang bahasanya pun telah disesuaikan dengan bahasa mereka
sehari-hari.
Islam
Indonesia Takkan Berubah Jadi Brutal
Dalam kesempatan yang sama, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun)
menjamin. masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir terhadap keberadaan pemeluk
Islam di tahun-tahun mendatang akan berubah menjadi kaum radikal, anarkis dan
menebarkan ketakutan di masyarakatnya. Karena, agama Islam itu rahmatam lil
‘alamin, yang sudah sesuai dengan karakter mayoritas masyarakat Indonesia.
Dalam menyampaikan dakwahnya, para walisongo dalam mengajarkan Islam tidak dengan memaksa-maksa, menunjuk-nunjukkan teks Al-Qur’an dan Hadis. Tetapi mengadopsinya
lebih dahulu dengan kultur, budaya, tradisi, kebiasaan dan kesenian lokal mereka, sehingga mereka bisa menerima ajaran ini dengan
senang hati.
Sementara Dirjen Kebudayaan
Prof Dr Katjung Maridjan dan sejarawan Ki Ngabei Agus Sunyoto menjelaskan,
keberhasilan dakwah Islamiyah pada abad 14 di Pulau Jawa khususnya, disebabkan
oleh ‘kepiawaian’ Walisongo dalam berdakwah dengan menggunakan pendekatan
kebudayaan, kesenian, dan memanfaatkan ekspresi kultural serta kearifan lokal
masyarakat setempat, sangat memperhatikan tata nilai, ekspresi (adat istiadat)
dan fisik (artefak) masyarakat.
“Keberhasilan dakwah
Walisongo di Nusantara pada abad 15, disebabkan kepiawaian Walisongo
menciptakan kebudayaan dan kesenian baru yang sudah dikenal dan disukai oleh
masyarakat setempat. Padahal, agama Islam sudah masuk Indonesia sejak abad 8,
tetapi tidak dapat berkembang”, kata Agus Sunyoto.
Metode yang dilakukan para
Walisongo ialah dengan membaur dan mengikuti arus budaya, tradisi dan kesenian
masyarakat. Antara lain, dengan menyusupkan ajaran Islam dalam menciptakan;
tembang-tembang, kesenian tradisional dan wayang, tradisi/budaya memperingati tiga
hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari dan seribu
hari meninggalnya seseorang, dll. (Machmud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar