Minggu, 23 Februari 2014

Rois Am Dr KH Mustofa Bisri : Islam Indonesia, Islam Yang Paling Otentik


DEMAK - Ajaran Islam di Indonesia ini adalah Islam yang otentik sesuai ajaran yang disampaikan Muhammad Rasulullah saw, yaitu agama yang mengajarkan rahmatan lil ‘alamin, agama yang membawa kesejahteraan terhadap masyarakatnya.

Demikian dikemukakan Rois Am Dr KH Mustofa Bisri (Gus Mus) sebagai keynote speaker dalam sarasehan Mahrajan (Festival) Wali-Wali Jawi Tahun 2014 “Menapak Jejak Auliya’ Meneladani Kearifan Mengajak” di pendopo Kabupaten Demak Jawa Tengah, Sabtu (22/2) pagi tadi.

Nabi Muhammad saw tidak mengajarkan Islam dengan model busana Arab (jubah), penampilan (berjenggot) dan perawakan. Memang Nabi Muhammad memakai celana cingkrang, berjubah dan berjenggot seperti yang dipakai pamannya Abu Jahal, Abu Lahab dan orang Arab lainnya.

 Tetapi itu bukan ciri busana muslim, melainkan busana (lokal) Arab Saudi. Dan itu pula yang dilakukan oleh para wali songo dalam melakukan dakwah. Mereka tidak merubah kultur dan budaya lokal masyarakat tetapi mengisi kultur dan budaya lokal tersebut dengan ajaran Islam.

Menurut Gus Mus, demikian KH Mustofa Bisri sering dipanggil, dakwah (mengajak) Islamiyah, tidak sama dengan amar ma’ruf nahi munkar (memerintah melakukan kebaikan meninggalkan kejahatan). Dakwah, dilakukan oleh para kiai dan walisongo dengan mencontoh metode yang diterapkan Rasulullah Nabi Muhammad saw, yaitu dengan cara yang bijak dan santun. Kekuasaan kiai hanya sebatas mengajak, dan manakala orang yang diajak tidak mau melaksanakannya sang kiai tidak merasa tersinggung apalagi marah dan ngamuk.

Sedangkan amar ma’ruf nahi munkar, tugas ini sering dilakukan oleh ustad atau orang yang mengaku pinter agama, yang manakala perintahnya tidak dilaksanakan, sang ustad merasa tersinggung berat, merasa dilecehkan, dan marah-marah. Bahkan tidak jarang sang ustad memberi sanksi atau hukuman kepada mereka yang tidak melaksanakan perintahnya tersebut.

“Mengajak orang awam koq disuruh membaca dan menafsiri Al-Qur’an dan Hadis sendiri. Belum sampai dapat membaca dan menafsiri, mereka sudah sakit-sakitan dan ….”, seloroh kiai yang terkenal dengan panggilan Gus Mus.
Menurut kiai asal Rembang yang juga budayawan ini, mempelajari Al-Qur’an dan Hadis adalah tugas ulama, dan orang awam cukup diberikan hasil kajiannya saja, yang bahasanya pun telah disesuaikan dengan bahasa mereka sehari-hari.

Islam Indonesia Takkan Berubah Jadi Brutal

Dalam kesempatan yang sama, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) menjamin. masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir terhadap keberadaan pemeluk Islam di tahun-tahun mendatang akan berubah menjadi kaum radikal, anarkis dan menebarkan ketakutan di masyarakatnya. Karena, agama Islam itu rahmatam lil ‘alamin, yang sudah sesuai dengan karakter mayoritas masyarakat Indonesia.

Dalam menyampaikan dakwahnya, para walisongo dalam mengajarkan Islam tidak dengan memaksa-maksa, menunjuk-nunjukkan teks Al-Qur’an dan Hadis. Tetapi mengadopsinya lebih dahulu dengan kultur, budaya, tradisi, kebiasaan dan kesenian lokal mereka, sehingga mereka bisa menerima ajaran ini dengan senang hati.

Sementara Dirjen Kebudayaan Prof Dr Katjung Maridjan dan sejarawan Ki Ngabei Agus Sunyoto menjelaskan, keberhasilan dakwah Islamiyah pada abad 14 di Pulau Jawa khususnya, disebabkan oleh ‘kepiawaian’ Walisongo dalam berdakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan, kesenian, dan memanfaatkan ekspresi kultural serta kearifan lokal masyarakat setempat, sangat memperhatikan tata nilai, ekspresi (adat istiadat) dan fisik (artefak) masyarakat.

“Keberhasilan dakwah Walisongo di Nusantara pada abad 15, disebabkan kepiawaian Walisongo menciptakan kebudayaan dan kesenian baru yang sudah dikenal dan disukai oleh masyarakat setempat. Padahal, agama Islam sudah masuk Indonesia sejak abad 8, tetapi tidak dapat berkembang”, kata Agus Sunyoto.

Metode yang dilakukan para Walisongo ialah dengan membaur dan mengikuti arus budaya, tradisi dan kesenian masyarakat. Antara lain, dengan menyusupkan ajaran Islam dalam menciptakan; tembang-tembang, kesenian tradisional dan wayang, tradisi/budaya memperingati tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari dan seribu hari meninggalnya seseorang, dll. (Machmud)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar