Kalau anda bertanya kepada kami,
maka jawabannya adalah jawaban yang bersifat fiqhiyah, sebagaimana yang ditulis
oleh para ulama sepanjang zaman.
Namun sifatnya tidak sedetail apa
yang sudah dibuat oleh BPS di atas. Sifatnya masih terlalu umum, dan tidak ada
salahnya para ulama bekerja sama dengan BPS dalam menetapkan detail kriteria
orang miskin.
Ambillah Al-Quran, di sana akan kita
temukan kata miskin diulang-ulang. Kalau kita rajin menghitungnya, kita akan
menemukan paling tidak 11 kali kali kata itu disebut di dalamnya. Selain
miskin, ada juga istilah yang sangat berdekatan dan nyaris tumpang tindih
dengannya, yaitu faqir.
Bahkan dalam bahasa Indonesia,
keduanya sering dijadikan dua kata yang melekat, fakir miskin. Padahal
masing-masing kata itu punya makna sendiri yang spesifik.
Orang-orang Faqir (Fuqara')
Mazhab Asy-Syafi'iyah dan
Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak
punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya.
Atau mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk di antaranya adalah seorang
wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya.
Hajat dasar itu sendiri berupa
kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi
sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari udara panas dan dingin, serta
sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan atau cuaca yang
tidak mendukung.
Orang-orang Miskin (Masakin)
Sedangkan miskin adalah orang yang
tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun
masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa
menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh
dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada
sedikit perbedaan antara faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang faqir itu
lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan
meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah
tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat
dasar hidupnya.
Pembagian kedua istilah ini bukan
sekedar mengada-ada, namun didasari oleh firman Allah SWT berikut ini:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera
itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS. Al-Kahfi: 79)
Di ayat ini disebutkan bahwa
orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya meski mereka miskin,
namun mereka masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan
pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah
menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin itu lebih buruk keadaannya dari orang
faqir. Hal ini didasarkan kepada makna secara bahasa dan juga nukilan dari ayat
Al-Quran juga.
atau kepada orang miskin yang sangat
fakir.(QS. Al-Balad: 16)
Maka tidak ada salahnya buat para
ulama untuk duduk bersama dengan para umara' serta para ahli di bidang
kemiskinan untuk menetapkan ambang batas kemiskinan itu.
Kesepakatan ini mutlak diperlukan,
karena dari sisi tataran dalil syariah, kita hanya mendapatkan kriteria yang
sangat umum, kurang detail dan kurang bisa langsung diterapkan untuk masalah
distribusi penanggulangan kemiskinan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar