Minggu, 13 April 2014

Habib Lutfi : Nabi Muhammad Mengajarkan Mauludan Manaqib dan Tahlilan


Mula-mula hanya mengatakan bahwa acara mauludan, manaqiban dan tahlilan adalah bid’ah, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Setelah itu, tempat-tempat bersejarah seperti rumah tempat Nabi Muhammad saw dilahirkan dibiarkan terlantar tidak terawat, rumah Siti Khadijah diratakan dengan tanah dijadikan terminal, dan masjid-masjid sahabat dimusnahkan, semata-mata untuk menghilangkan jejak dan sejarah kerasulan Nabi Muhammad saw. 

Maka setelah itu, mereka pun dengan leluasa menghapus syirah/tarikh dan menggantinya dengan dongeng, sehingga akhirnya sejarah ajaran Islam hanyalah fiktif. Demikian Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dari Pekalongan Jawa Tengah, dalam tausiyahnya pada Haul Agung Kanjeng Sultan Raden Abdul Fatah Al-Akbar Sayyidin Panotogomo ke-511 di halaman Masjid Agung Demak, Sabtu (12/4) malam.

Adalah salah besar apabila Nabi Muhammad saw tidak pernah mengajarkan mauludan, manaqiban dan tahlilan,lanjut Habib Luthfi. Justru mereka inilah yang tidak tahu sejarah, karena mereka hanya terpaku pada teks Al-Qur’an dan Sunah. Mereka tidak mau tahu budaya apa saja yang berkembang di masyarakat kemudian diadobsi oleh Rasulullah untuk melancarkan dakwah islamiyahnya, sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat dalam kurun waktu kurang dari 23 tahun.

Dalam kesempatan yang sama, hal serupa juga disampaikan oleh Dr KH Mustofa Bisri dari Pengasuh Ponpes Roudhotut Tholibin Rembang Jawa Tengah.

“Dalam mendakwahkan Islam di Nusantara ini, para wali songo sangat arif dan meneladani kebijakan Rasulullah sehingga Islam dapat diterima dengan lapang dada oleh masyarakat atheis, animis, Hindu dan Budha. Karena, para wali mengadopsi budaya dan kesenian lokal yang berkembang di masyarakat.

“Tidak ada pertentangan dan tidak ada gejolak. Tetapi justru penyebaran Islam berlangsung sejuk, kondusif dan penuh toleransi”, papar Gus Mus.

“Islam tidak mengutamakan kemasan, tetapi isi. Maka diciptakan wayang dan berbagai macam kesenian lokal oleh para walisongo. Tidak harus berjubah, bercelana cingkrang dan berjenggot untuk menjadi pendakwah. Dengan blangkon, baju beskap kejawen dan mengisi tradisi lama nelung ndino, mitung ndino, matang puluh, nyatus, mendhak dannyewu dan seterusnya, pemeluk Hindu dan Budha merasa diuwongke,” lanjutnya.

“Dengan tidak menyembelih sapi  seperti yang dilakukan Kanjeng Sunan Kudus, masyarakat Hindu beralih memeluk Islam dengan senang hati. Mereka tidak merasa terpaksa dan dipaksa. Ini yang dilakukan oleh para wali, menerjemahkan ajaran Al-Qur’an dan Hadis dengan bahasa rakyat awam yang mudah diterima. Tidak perlu masyarakat dipaksa memahami dan menafsirkan kitab suci dan hadis nabi sendiri” tambahnya. (mac)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar