Kamis, 29 Mei 2014

PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI BERSTANDAR NASIONAL ADALAH KUNCI KEBERHASILAN PENERAPAN RISET DAN TEKNOLOGI DI INDONESIA



 Prof. DR. Ing Eko SupriyantoIndonesia adalah negara yang tidak hanya kaya akan kekayaan alam, namun juga kaya akan sumber daya manusia. Meskipun 11.37 % penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan [BPS 2013], dan 4 % adalah buta huruf [Kemendikbud 2013], namun ini tidak berarti Indonesia tidak mampu menghasilkan inovasi yang dapat dinikmati oleh bangsa sendiri. Saat ini jumlah perguruan tinggi di Indonesia melebihi 3151 buah [Kemendikbud 2013], sedangkan lulusan S3 adalah sekitar 25 ribu orang [DIKTI, 2012]. Terdapat lebih dari 5 juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri [Diaspora II], baik di perusahaan-perusahaan multinasional maupun di berbagai institusi-institusi berstandar internasional. Tidak sedikit produk dari universitas maupun lembaga penelitian yang sebenarnya bisa dikomersialkan dan memenuhi standar nasional.

 Bahkan Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah mampu membuat pesawat terbang dan melakukan terbang perdana pada tahun 1996 [Puspitek, 2012]. Tidak hanya itu, para inovator daerah ternyata juga mampu menghasilkan berbagai inovasi, misalnya pembangkit listrik tenaga air, obat-obatan herbal, alat pemroses makanan serta alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Bahkan belakangan ini, mobil listrik adalah salah satu produk yang bisa kita bangun sendiri.

Siapapun bisa berinovasi; petani mungkin dapat menghasilkan teknik baru dalam mendapatkan bibit unggul atau alat baru untuk membuat tempe, nelayan mungkin dapat menghasilkan metode baru dalam penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berbiaya rendah; ibu rumah tangga mungkin bisa berinovasi untuk menciptakan kue baru atau kerajinan tangan; mahasiswa agama mungkin bisa membuat kitab yang bisa berbicara; dokter mungkin bisa menciptakan obat baru; insinyur elektro mungkin bisa membuat satelit, atau bahkan gubernur atau menteri bisa menciptakan sistem manajemen baru yang terkomputerisasi untuk memonitor pencapaian institusi. Inovasi bukanlah milik insinyur atau sarjana teknik, tapi inovasi adalah milik semua orang. Ini artinya inovasi bukan saja produk yang secara fisik bisa kita sentuh, tetapi kebijakan dan proses kerja juga merupakan produk yang perlu dihasilkan dan diterapkan di Indonesia.

Meskipun demikian, adalah sungguh ironis, dengan kekayaan alam atau bahan baku yang melimpah, sumber daya manusia yang cukup besar serta berbagai inovasi yang dihasilkan, Indonesia masih mengimpor berbagai produk dari luar negeri, yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri. Kita menyadari hal ini bukan masalah yang mudah untuk diselesaikan, karena menyangkut sistem yang sangat kompleks. Kebijakan industri dan perdagangan yang belum pro produk dalam negeri, gencarnya promosi produk-produk asing, banyaknya para pengusaha Indonesia yang hanya berpikir praktis untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat dengan melakukan impor produk asing,

 badan usaha milik negara dan daerah yang belum mampu untuk all-outmengkomersialkan produk nasional, beberapa standar produk Indonesia yang belum pro-produk dalam negeri, hubungan antara pemerintah-industri-universitas yang masih institutional based, ekosistem inovasi yang belum secara mantap terbentuk, pengelolaan dana penelitian yang belum dilakukan secara efektif dan efisien, korupsi yang masih merajalela, dan barang-barang ilegal dari luar negeri yang masih mudah masuk, adalah beberapa faktor yang menyebabkan minimnya penggunaan produk dalam negeri di Indonesia.

Perjuangan satu atau dua orang inovator, adalah sangat mungkin untuk menembus berbagai rintangan-rintangan diatas. Meskipun terdapat beberapa produk dalam negeri yang sekarang ini mempunyai pasar yang bagus di Indonesia, namun bila dikorelasikan dengan volume pasar, volume penelitian, jumlah SDM berpendidikan tinggi serta dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, kita masih jauh ketinggalan. Riset tidak harus sesuatu yang memerlukan dana besar maupun teknologi tinggi. Namun untuk mewujudkan inovasi masal yang berstandar nasional, serta dapat diterapkan secara masal di Indonesia, perlu sebuah sistem dan pemimpin yang mempunyai cara dan mampu mengatasi berbagai permasalahan di atas. Hal ini perlu dilakukan diperingkat nasional dan dipimpin oleh menteri riset dan teknologi, serta dikoordinasikan dengan kementerian yang berkaitan dengan SDM yaitu kementerian pendidikan dan tenaga kerja, berkaitan dengan kebijakan dan perdagangan yaitu kementerian perindustrian dan perdagangan, kementerian ekonomi dan kementerian hukum, dan Bappenas serta berkaitan dengan pengguna inovasi misalnya kementerian pekerjaan umum, kesehatan, pariwisata, kelautan, perikanan, pertahanan dan keamanan.

Seorang menristek, tidak cukup hanya menjadi manajer dan reporter, tetapi juga harus menjadi inovator, koordinator, negosiator dan motor. Seorang menristek harus mempunyai pengalaman internasional dalam melakukan berbagai riset dasar dan terapan, serta pengalaman di industri yang mengaplikasikan riset-riset terapan. Ini karena untuk memimpin institusi yang dapat menciptakan produk yang berdaya saing global, seorang pemimpin harus pernah mempunyai pengalaman dalam hal ini serta mempunyai jaringan global. Keberhasilan seorang menristek harus dinilai dari jumlah produk dalam negeri yang berhasil dikomersialkan atau dipakai di masyarakat, serta impak riset terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam 100 hari kepemimpinan seorang menristek, dia harus mampu mengidentifikasi produk atau inovasi dan kebutuhan masyarakat akan produk tersebut. Kementerian harus membuat tim evaluasi dan monitor pengembangan serta implementasi produk dalam negeri yang terdiri dari perwakilan tiga grup kementerian (SDM, Regulasi dan Pengguna); perwakilan pelaku ekonomi (perusahaan / industri/bank), universitas dan lembaga penelitian. Tim harus bergerak keseluruh daerah di Indonesia untuk menemukan produk atau inovasi yang siap untuk dikomersialisasi, dan ini perlu juga diumumkan secara nasional melalui media massa. Selain itu tim juga harus berkomunikasi dengan berbagai organisasi orang-orang Indonesia di seluruh dunia untuk menemukan produk-produk orang Indonesia di luar negeri yang mungkin dikomersialisasikan di Indonesia. Setelah itu tim akan melakukan seleksi terhadap produk-produk yang siap untuk dikomersialisasikan. Tim juga harus membuat kebijakan dan langkah-langkah komersialisasi serta penyiapan pendanaan serta berkoordinasi dengan kementerian pengguna dan daerah untuk penyiapan pasar. Setelah seleksi, maka pendanaan dan pengawasan pelaksanaan proses komersialisasi harus dilakukan. Pada hari yang ke-seratus, menteri harus sudah punya daftar inovasi atau produk yang siap dikomersialisasikan, lengkap dengan proposal bisnis untuk setiap produk, dan siap didanai oleh pelaku ekonomi atau pengguna produk.

Pencapaian dalam 100 hari pertama ini adalah sangat penting untuk mendapatkan titik awal pembangunan inovasi dan implementasi produk dalam negeri dalam kurun waktu 5 tahun. Selanjutnya berbagai program harus dijalankan dengan fokus untuk menjamin keberhasilan implementasi inovasi di Indonesia. Perubahan kebijakan, pembuatan standar, manajemen pendanaan, mobilisasi SDM, koordinasi dengan berbagai pihak, adalah beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh kementerian untuk menjamin keberhasilan program ini. Selain berfokus pada implementasi produk untuk keperluan dalam negeri, kementerian juga harus mengatur berbagai kegiatan riset dasar dan riset terapan, untuk menjamin keberlanjutan inovasi dan roadmap pembangunan nasional jangka panjang.

Dalam waktu 5 tahun, kementerian harus menjamin bahwa semua dana penelitian yang dikeluarkan akan menghasilkan nilai ekonomi atau pendapatan  (baik dalam in cash atau in kind) yang melebihi dari dana penelitian yang dikeluarkan. Selain itu impak lainnya adalah tumbuhnya perusahaan-perusahaan baru berbasis inovasi, berkurangnya ketergantungan produk asing atau impor berbagai produk dari luar negeri, bertambahnya pendapatan atau lapangan kerja bagi masyarakat berbasis inovasi, naiknya jumlah publikasi internasional dan naiknya jumlah hak kekayaan intelektual. Kementerian harus mempunyai target dalam bentuk angka-angka dan menjadi kinerja kementerian yang akan dievaluasi.

Bila dana penelitian yang dikelola oleh Kemenristek misalnya Rp. 50 Trilyun per tahun (sekitar 2-3% dari APBN), maka diharapkan dalam 5 tahun, akan dihasilkan paling tidak 40000 Doktor (S3) baru, akan tumbuh minimum 1000 perusahaan baru berbasis inovasi, akan terdapat investasi untuk produk inovasi minimum senilai 50 trilyun, akan muncul paling tidak 1 juta lapangan kerja baru di perusahaan-perusahaan baru, akan menghasilkan sedikitnya 100 ribu publikasi internasional, dan akan menghasilkan minimum 10000 paten. Angka-angka ini hanyalah contoh kasar, untuk lebih tepat harus dihitung dengan data yang akurat.
Sebagai perbandingan, terdapat lebih kurang 5000 paten orang Indonesia yang terdaftar di Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun (1991-2011) [Kemenristek 2013] dan 7500 publikasi internasional (2001-2010) [LIPI]. Saat ini anggaran penelitian di Indonesia adalah sekitar Rp. 10 Trilyun per tahun [Kemenristek 2014]. Sementara itu kalau kita bandingkan, Universitas Teknologi Malaysia saja, dengan dana penelitian sekitar Rp. 500 Milyar pertahun mampu menghasilkan sekitar 600 paten dan 3000 publikasi internasional pertahun [UTM 2013] Edisi 523.

Oleh Prof. Dr. -Ing. Eko Supriyanto
Direktur Pusat Studi Pembangunan Nusantara
Direktur Pusat Penelitian Jantung Nasional Malaysia
Pemilik lebih dari 20 Paten Teknologi Biomedis.
Pemilik lebih dari 150 jurnal Internasional.
Konsultan beberapa perusahaan multinasional.
Konsultan beberapa kepala daerah di Indonesia.
Guru Besar bidang Teknologi Kedokteran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar