Sabtu, 05 Juli 2014

Sanusi, Penemu Garam Industri di Indonesia


Bikin Kincir Tuyul untuk Lengkapi Teknologi Ulir Filter 

DIKENAL sebagai pengepul bawang merah di kampung halaman Kabupaten Cirebon, membuat Sanusi menjadi pendatang baru untuk di dunia pergaraman. Tak pernah terpikirkan olehnya akan mencicipi asinnya garam untuk mensejahterakan hidupnya seperti sekarang ini.
 
NELLY SITUMORANG, Cirebon

”Asinnya garam maniskan hidupku,’’ kalimat itu terlontar dari Sanusi, pria kelahiran Cirebon 3 Februari 1959, penemu teknologi baru dalam meningkatkan produksi garam di Cirebon, ketika
 INDOPOS (grup Jawa Pos) menyambanginya di rumahnya di Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat baru-baru ini.

Tak ada yang spesial dari penampilan Sanusi. Pria yang berhasil menemukan teknologi baru dalam meningkatkan produksi garam di Cirebon dari 80 ton per hektare per musim menjadi 120 ton per hektare per musim terlihat seperti petani umumnuya. Peci hitam dengan warnanya hampir memudar, kacamata, dan sebatang rokok yang selalu melekat di bibir pelengkap penampilan kesehariannya. 

Sebagai sosok yang tak pernah diam selalu melakukan percobaan membuatnya kaya akan inovasi dan ilmu. Meski hasil temuannya kadang dia tidak tahu harus menamai apa. Seperti kincir angin untuk melengkapi teknologi ulir filter (TUF) yang merupakan hasil temuannya untuk meningkatkan produksi garam disebut dengan kincir tuyul, lantaran dia tidak tahu lagi memberikan nama. Akan tetapi pilihan kata selalu berkesan dan mudah diingat. 

Nama Sanusi pun mulai dikenal publik lantaran hasil coba-cobanya berhasil melakukan terobosan baru, memproduksi garam dengan hasil spektakuler melalui TUF. Berawal dari coba-coba di depan rumah petakan-petakan kecil satu  meter persegi, mengubah air laut menjadi garam, karena hasilnya memuaskan, dia mengembangkan pada lahan 1 hektare. Lahan ini sebelumnya merupakan lahan sawah untuk padi kurang produktif. 

Tak disangka. Garam produksi dari tambaknya menjadi incaran perusahaan karena di atas kualitas yang dibutuhkan industri. Garam produksinya bisa mencapai 97 persen kandungan NaCl, sementara hasil produksi petambak tradisional 60-80 persen saja dan kandungan air pada hasil produksi tambak Sanusi bisa mencapai 0.5. R (ini istilah dari perusahaan yang kandungan airnya cukup baik, bahkan kalau 0.1 R sangat luar biasa di Indonesia jarang, karena dipengaruhi oleh kelembapan).

”Saat ini, saya harus menyuplay 10 ribu ton per bulan untuk meladeni perusahaan di dalam negeri. Bahkan, ada beberapa perusahaan yang gagal MoU lantaran saya tidak mampu mencukupi permintaan perusahaan yang sudah percaya akan kualitas garam di sini,’’ aku Sanusi. 

 Sanusi menjelaskan teknologi yang diterapkan tidak aneh-aneh, TUF adalah teknologi ulir filter. Air laut yang disedotnya hingga 5 kilo meter ke tengah laut dengan paralon besar, dimasukkan ke kolam penampungan yang disebut bak penuaan air lau berukuran 2 x 2 meter dengan ketinggian 1 meter (pola ini yang belum dilakukan petambak tradisional). 

Sebelum dialirkan, ke petakan-petakan tambak, ada filter menggunakan ijuk untuk membersihkan partikel lumpur, zeolit mempercepat kekentalan, arang batok, penjernih air,  lalu batu koral yang menyedot ion yang negatif, ion yang tidak baik untuk pembentukan proses garam untuk kualitas industri, tapi tanpa batu koral pun air sudah bagus (tua istilah air laut siap dialirkan ke tambak) dan proses pembentukan garam juga hasilnya sudah bagus. 

Filter tadi dilalui air baik dari laut ke penampungan, juga dari penampungan ke petakan tambak. Proses tersebut membuat garam Sanusi diakui di beberapa pabrik yang sudah melakukan kerjasama dengannya. Bahkan, kadar garam hasil produksinya lebih baik dari garam industri yang diimport selama ini. ”Bukan saya yang bilang kalau garam industri kita lebih bagus dari garam impor yang selama ini mereka gunakan, tapi produsen (user) yang mengakui,’’ ucap alumnus SMAN I Cirebon tersebut. 

Ulir kata Sanusi mempercepat produksi, penguapan dari air laut menjadi molekul yang membentuk kristal garam. Ulir dilakukan untuk epaporasi terjadi penguatan dan pengendapan, yang  mempengaruhi adalah angin, panas dan kelembaban di sekitar tambak. Perbedaan cara yang dilakukan Sanusi dengan produksi tradisional selama ini, hanya pola pengendapan air laut.

Sanusi melakukan pengendapan air laut terlebih dahulu, dalam bak 2 x 2 meter dengan ketinggian air 1 meter, sementara pola tradisonal mengalirkan air laut langsung ke petakan. Fungsi bak tadi untuk menuakan air laut sebelum di alirkan ke petakan-petakan, setelah air tua, baru dialirkan berulang-ulang pada petakan-petakan tambaknya. (ash)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar